CINTA DIATAS PERAHU CADIK
Cerpen Seno Gumira Ajidarma
Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai
itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil
menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di
bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu
pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak
kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai
perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun
yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk
dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu. Para
nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu,
gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu,
seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang
mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung
perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?
Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada
bahunya.
Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat,
melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali,
sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak
berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam
tiada berperi. "Sukab! Tunggu aku!" Di pantai, tiba-tiba terdengar
derum suara mesin. "Cepatlah!" ujar lelaki bernama Sukab itu.
Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut,
melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari
begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia
meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah
perahu Sukab. "Hayati! Mau ke mana?" Seorang nenek tua muncul di
pintu gubuk.
Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali.
Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah
menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu
sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas
melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan
jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati. Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang
lelaki muncul dari dalam gubuk. "Ke mana Hayati, Mak?" Nenek tua itu
menoleh dengan kesal. "Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah
laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk
malah merestui!" Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. "Hayati dan
Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi
Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya." Nenek yang sudah bungkuk itu
mengibaskan tangan. "Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik
dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!" Lelaki yang agaknya bernama
Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam
gubuk.
"Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak!
Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!"
Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu
kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta
membara di atasnya. Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung
camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai
sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan. Menjelang
tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan
apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban
mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.
"Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di
atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa."
"Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab
dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia."
"Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar
kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun
di atasnya.
" Nenek itu memaki. "Istri orang di perahu suami
orang! Keterlaluan!" Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.
"Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di
atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu
Sukab?" "Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab,
bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?" Melangkah
sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal
sendirian. "Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang
kutukan!"
Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya
merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena
malaria.
"Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?"
Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya
bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya
tertempel sebuah koyo.
Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Nenek tua itu
melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang
lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung
di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut
pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas
kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang
jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang
sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah
bertahun-tahun lewat.
Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada
juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar
untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk
berterbangan masuk karena pintu dibuka. Pandangan nenek tua itu tertumbuk
kepada anak perempuan yang menatapnya. "Mana Bapakmu?" Anak itu hanya
menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas.
Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala. "Anak apa ini? Umur lima tahun
belum juga bisa bicara!" Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh
bergambar kupu-kupu dan burung hong.
Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin
malaria. Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika
terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.
"Aku sudah tahu?"
"Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?"
"Tentang mereka?"
Nenek itu mendengus.
"Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku
pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia
sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih
juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang
tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang
hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak
kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?"
Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak
sanggup berpikir lagi.
"Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi
dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan
pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu
rugi belum menghukum si jalang Hayati!"
Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan
malarianya agar bisa berbicara.
"Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak
mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan
suamiku pulang dengan selamat?dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui
perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan."
Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya
untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya
bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi. Nenek tua itu
terdiam. Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga
kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika
bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau
Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena
tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab
terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin,
karena memang sering terjadi.
Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali
dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.
"Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu
mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita," kata seseorang.
"Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak
dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita,"
sahut yang lain,
"apalagi jika di perahunya ada Hayati."
"Apakah mereka bercinta di atas perahu?"
"Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat
di samping perahu mereka."
Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin
juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu
pasti apa yang akan mereka alami. Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh
menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang
menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang
menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan
menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun
setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan
Sukab dan Hayati akan kembali. "Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin
bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu
seperti apa orang yang dimabuk cinta?" ***
Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin
yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun
begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian
ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas
perahu.
Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih
besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat
sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang
berdarah?tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini,
setelah bahan bakar untuk mesinnya habis. Hayati tampak lebih kurus dari biasa
dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah
kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali?tetapi mata keduanya
menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara.
Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar
ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak
bisa dihindari lagi. Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa
pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini. Sabang, Desember
2006/Merauke, April 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar